, ,

DIALOG KANTONG PLASTIK: GRATIS VS BERBAYAR

Oleh : Nadia Mulya*

Masa uji coba kebijakan “Kantong Plastik Tidak Gratis” (surat edaran nomor S. 1230/PSLB3-PS/2016) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diterapkan oleh 22 kota dan 1 provinsi, telah berakhir pada tanggal 31 Mei 2016, semenjak pertama diluncurkan pada tanggal 21 Februari 2016.

Konsumen, utamanya yang tahu betul mengenai bahaya sampah plastik terhadap lingkungan dan reputasi Indonesia di mata internasional (Indonesia mendapatkan peringkat kedua pembuang sampah plastik di lautan), memberikan dukungan positif terhadap kebijakan ini, walau tak diragukan terjadi resistensi di beberapa daerah. Namun secara umum, kebijakan ini berhasil memberikan pengetahuan dan memicu kesadaran masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang terjadi manakala masa uji coba ini berakhir? Dan bagaimana hasilnya selama kebijakan “Kantong Plastik Tidak Gratis” diterapkan?

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni, KLHK mengadakan acara Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016 di Jakarta Convention Centre. Salah satu kegiatan dalam rangkaian acara tersebut adalah “Dialog Kantong Plastik: Gratis VS Berbayar” pada hari Jumat, 10 Juni 2016.

Tujuan daripada dialog ini adalah untuk membentuk pemahaman publik terkait pentingnya mengurangi penggunaan kantong plastik, menangkap aspirasi publik mengenai kebijakan kantong plastik tidak lagi gratis, memberikan contoh kepada publik mengenai perilaku yang mencerminkan pembatasan kantong plastik, dan mendorong pihak retail modern untuk membatasi penggunaan kantong plastik dengan tidak memberikan kantong plastik secara gratis. Dialog tersebut dihadiri oleh akademisi, media, pengusaha, asosiasi, komunitas, NGO, dan masyarakat umum lainnya.

Acara dimulai dengan video yang menunjukkan bahaya sampah plastik dan MC Rahyang Nusantara, Koordinator Harian Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), yang menyambut semua audiens. Dialog secara resmi dibuka dengan sambutan dari Bapak Sudirman, Direktur Persampahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mempertegas komitmen pemerintah (KLHK) untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya kantong plastik melalui, antara lain, kebijakan pemerintah, dan menyampaikan observasi lapangan setelah satu bulan penerapan kebijakan tersebut. Hasilnya sebagai berikut:
1. Sebanyak 21 dari 27 kota melaksanakan uji coba penerapan kantong plastik tidak gratis sesuai surat edaran KLHK. Kota Surakarta dan 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta tidak menerapkan uji coba karena memiliki kebijakan yang berbeda dari KLHK.
2. Sebanyak 22 dari 27 kota telah melakukan sosialisasi uji coba penerapan kantong plastik tidak gratis kepada Pengusaha Ritel dan Masyarakat. Ada 5 kota administratif di Provinsi DKI tidak melakukan sosialisasi.
3. Sebanyak 22 dari 27 kota telah mengeluarkan kebijakan daerah dalam bentuk Perda (Bandung, sejak 2012 dan saat ini sedang menyusun Peraturan Walikota), surat edaran walikota (Ambon, Balikpapan, Depok, Makassar, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Semarang), draft Peraturan Gubernur (Provinsi DKI Jakarta), dan draft Peraturan Walikota (Banda Aceh, Bekasi, Banjarmasin, Kendari, Yogyakarta, Malang, dan Jayapura.)
4. Sebanyak 15 dari 21 kota menerapkan harga kantong plastik Rp200,¬ Sebanyak 6 kota menetapkan harga yang berbeda. Namun demikian temuan di lapangan, toko/ritel anggota APRINDO seluruhnya menetapkan harga kantong plastik yang sama yaitu Rp 200.
5. Sebanyak 21 dari 27 kota telah menginventarisasi data jumlah gerai ritel modern baik yang anggota APRINDO maupun yang bukan.
6. Seluruh PEMDA BELUM menginventarisasi data dan jumlah penggunaan kantong plastik di gerai ritel modern baik yang anggota APRINDO maupun yang bukan.

MC memanggil moderator Nadia Mulya, penulis dan presenter, yang tengah hamil sembilan bulan dan menyampaikan bahwa anak-anaknyalah yang mendorong dirinya untuk menjadi relawan Diet Kantong Plastik, sebagai aksi nyata untuk mewariskan Indonesia yang (lebih) hijau untuk generasi mendatang.

Dialog dimulai dengan mengundang para narasumber:
− Bpk. Yosef Adityo, General Manager Corporate Secretary Gramedia,
− Bpk. Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo),
− Dinni Septianingrum, pendiri Seasoldier,
− Nadine Chandrawinata, pendiri Seasoldier.

IMG_9633

(Dari kiri ke kanan : Bpk Sudirman (Direktur Persampahan KLHK); Bpk Yosef Adityo (General Manager Corporate Secretary Gramedia); Bpk Roy Mande (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia); Dinni Septianingrum (Seasoldier); Nadine Chandrawinata (Seasoldier); Nadia Mulya (DKP Ranger dan moderator); dan Bpk Hamdi (Kepala BLH Banjarmasin).

Kesempatan pertama diberikan kepada Bpk. Yosef yang menceritakan Gramedia sudah sejak lama menjual kantong belanja bahan, bahkan telah melakukan berbagai variasi seperti kantong belanja bahan dengan aneka motif yang dapat diwarnai, sesuai dengan tren adult coloring book yang tengah digandrungi saat ini. Kendati demikian, Gramedia menjumpai beberapa resistensi dari masyarakat, utamanya di daerah, ketika kasir memberitahukan bahwa kantong plastik kini dihargakan Rp 200. Ada kasus dimana konsumen tidak jadi membeli dan ada pula yang melempar buku ke kasir! Bpk. Yosef mengeluhkan tidak mendapatkan panduan baku mengenai penjelasan apa yang sebaiknya diberikan kepada konsumen agar mereka bisa lebih menerima kebijakan ini, termasuk menjelaskan bagaimana bentuk harga Rp 200 per kantong plastik yang akhirnya disimpulkan konsumen sebagai keuntungan bagi toko. Beliau juga berharap agar penjelasan itu bersifat seragam antar semua peritel agar lebih efektif lagi mengedukasi konsumen.

Mencatat kendala yang dihadapi oleh Gramedia, moderator kemudian meminta Nadine dan Dinni untuk menceritakan mengenai latar belakang pendirian Seasoldier, lingkup pekerjaannya dan temuan di lapangan mengenai sampah plastik. Seperti diketahui, saat ini terbentuk suatu “pulau buatan” dari sampah plastik yang terbawa arus dan berkumpul di lautan Pasifik utara yang dikenal dengan nama “The Great Pacific Garbage Patch” atau “Pacific Trash Vortex.” Luas pastinya tidak diketahui, tetapi estimasi mencatat hingga 700.000 km2! Bila Indonesia adalah penyumbang kedua terbanyak sampah plastik di lautan, terbayang banyak diantara sampah plastik tersebut adalah merek produk rumah tangga Indonesia. Sungguh memalukan.

Seasoldier didirikan sebagai bentuk cinta lingkungan, utamanya lautan beserta semua biotanya, yang menjadi kekayaan bangsa ini. Saat ini tercatat sekitar 500 anggota dan ratusan lagi simpatisan. Setiap anggota mendapatkan nomor untuk menunjukkan keterlibatan dan komitmennya dan rajin posting kegiatan positif di sosial media dengan tujuan mengedukasi dan menyebarkan virus melestarikan lingkungan.

Walau namanya adalah Seasoldier alias pendekar lautan, fokus mereka juga ke daratan. Karena di daratanlah (hulu) sumber sampah itu mengalir ke hilir hingga akhirnya mencemari laut. Nadine dan Dinni melaporkan jumlah sampah (plastik) baik di lautan maupun di daratan kian mengenaskan. Dan perilaku masyarakat sekitar serta turis, yang sebelumnya hormat dengan keindahan alam, makin mengalami pergeseran dengan membuang sampah sembarangan dan aksi lain yang mencemar lingkungan. Hal ini sangat disayangkan Nadine, karena menurutnya Indonesia kaya akan kearifan lokal yang dapat menjadi solusi terhadap masalah sampah plastik. Contohnya di Papua, masyarakat terbiasa menggunakan Noken (semacam reusable bag) jauh sebelum isu ini mencuat. Seasoldier merupakan satu dari sekian komunitas yang mendukung kebijakan kantong plastik tidak gratis, dan menantikan kepastian selanjutnya.

Selanjutnya moderator mempersilakan Bpk. Roy Mande untuk menyampaikan pelaksanaan kebijakan pada anggotanya. Anggota Aprindo meliputi 35.000 toko yang terbentang di 514 kabupaten/kota dari Aceh hingga Jayapura, dengan 70 DPD/DPC. Aprindo mendukung kebijakan kantong plastik tidak gratis dengan secara sukarela men-training para front liner (kasir) dan menyediakan promotional/educational tools (alat peraga di setiap kasir, X banner, dan lain-lain), namun mengeluhkan kebijakan yang bersifat parsial (hanya 22 kabupaten/kota) maka mengalami kesulitan dalam sistem. Setiap toko bersifat jaringan, sehingga perlu dilakukan adjustment yang bersifat sementara. Dan setelah masa uji coba, banyak anggota kembali memberikan kantong plastik secara cuma-cuma dikarenakan tidak adanya surat resmi dari Kementerian mengenai kelanjutan. Beberapa anggota yang berinisiatif tetap memberlakukan harga Rp 200 per kantong plastik, mendapat reaksi keras dari beberapa konsumen.

Oleh karena itu, Bpk. Roy juga senada dengan Bpk. Yosef mengenai akuntabilitas Rp 200 yang dikenakan pada kantong plastik. Beliau menyampaikan bahwa ia dan front liner dari semua ritel yang bergabung di bawah Aprindo, sama halnya seperti yang dihadapi Gramedia, harus menghadapi tuduhan peritel memperkaya diri. Maka dari itu pentingnya meluruskan istilah BERBAYAR. Karena, istilah itu memberikan konotasi bahwa ada pihak yang menerima pembayaran atau diuntungkan. Menanggapi berbagai kendala selama ini, Bpk. Yosef juga menyampaikan bahwa kebijakan yang bersifat parsial memberi peluang kepada peritel yang tidak bergabung dengan Aprindo atau bahkan oknum kasir, untuk mendapatkan keuntungan dengan menukar dan menjual kantong plastik.

Moderator menyimpulkan sebuah fakta yang ternyata masih kurang disosialisasikan dan dipahami masyarakat, yang manakala dikomunikasikan dengan benar bisa merubah dan mentransformasi pemahaman konsumen mengenai kantong plastik tidak gratis. Selama ini kantong plastik memang ada biayanya yang dimasukkan sebagai fixed cost ke dalam komponen harga jual, dan ditanggung konsumen. SELAMA INI KONSUMEN MEMBAYAR KANTONG PLASTIK. Kebijakan ini justru memberikan PILIHAN kepada konsumen untuk membayar atau tidak membayar (jika menggunakan kantong belanja sendiri).

Tentunya manakala kebijakan ini diberlakukan secara masif, maka peritel perlu melakukan adjustment atau penyesuaian pada harga dengan mengeluarkan komponen harga kantong plastik dari harga jual barang dagangan. Sementara bila kantong plastik diperlakukan sebagai barang dagangan, maka artinya ada kewajiban pajak. Selain itu perlu dipikirkan standar baku mengenai harga, ukuran atau spesifikasi kantong plastik, dan berbagai detil teknis lain. Bpk. Roy menutup statemennya dengan harapan agar keputusan atau kebijakan apapun itu bersifat jelas, firm, dan luas, sehingga dunia ritel dapat membuat keputusan bisnis dan menyesuaikan diri berdasarkan peraturan yang ada.

Memang pada akhirnya adalah inisiatif dari para individu dan instansi untuk menginisiasi dan terus menggerakkan roda perubahan. Bapak Hamdi, Kepala BLH Banjarmasin menceritakan kisas suksesnya di kota seribu sungai, yang sayangnya merasakan dampak sampah plastik mencemari sungai-sungainya. Beliau menyadari betul dampak dari kebijakan kantong plastik tidak gratis tersebut sehingga begitu masa uji coba sudah berakhir, Pemerintah Kota berinisiatif untuk membuat keputusan lanjutannya dalam bentuk Peraturan Walikota.

Selanjutnya, Natalya Kurniawati dari YLKI melaporkan monitor dan evaluasi masa uji coba kebijakan Kanotng Plastik Tidak Gratis ini. Sebelumnya, ia mengharapkan Peraturan Menteri (PerMen) merupakan satu paket lengkap dengan sosialisasi dan edukasi agar konsumen tidak merasa terbebani manakala terpaksa membeli kantong plastik, melainkan secara ikhlas tidak membelinya karena paham bahaya sampah plastik dan ingin berpartisipasi terhadap pelestarian lingkungan secara nyata.

Poin penting yang disimpulkan dari hasil Survei Efektivitas Uji Coba Kebijakan Kantong Plastik YLKI:
− Kesadaran konsumen untuk lebih peduli terhadap lingkungan sudah ada, tetapi pemahaman terhadap tujuan kebijakan ini yang masih kurang.
− Kebijakan ini sejalan dengan visi green consumer yang diusung oleh YLKI demi mengampanyekan kepada konsumen agar lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik.
− Efektivitas kebijakan di lapangan walaupun sudah ada pengurangan sementara jumlah konsumsi kantong plastik, tetapi masih ada 50%-60% konsumen yang tetap menggunakan kantong plastik.
− Konsumen masih memiliki persepsi bahwa kebijakan ini kurang jelas dari segi sosialisasi, mekanisme & ketersediaan alternatif solusi bagi konsumen.
− Pemerintah agaknya masih belum siap dengan kebijakan ini melihat masih belum matangnya media dan informasi yang disampaikan ke ritel maupun ke konsumen
− Dari ritel sendiri belum siap dengan keseragaman SOP yang berlaku pada kasir, dan ketersediaan alternatif wadah belanja non plastik bagi konsumen.
Secara garis besar, kesimpulan dari YLKI adalah bahwa 66% konsumen mengetahui tujuan dari kebijakan kantong plastik berbayar, mengharapkan peritel menyediakan kantong belanja non plastik dengan harga terjangkau yakni kisaran Rp 5.000 – Rp 8.000 (direkomendasi agar peritel menerapkan standar baku untuk kantong plastik berbayar yakni harga yang standar sehingga tidak ada polemik dan take profit perbedaan harga, dan menyediakan kantong plastik putih tanpa merek, atau dengan pesan mengenai lingkungan dan bahaya sampah plastik – sama halnya seperti iklan rokok), dan mayoritas konsumen (35,3% atau peringkat pertama) menyarankan MENIADAKAN KANTONG PLASTIK SAMA SEKALI.

Berdasarkan temuannya, YLKI memberikan rekomendasi:
− Mengacu pada UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pemerintah selaku regulator dan pelaku usaha WAJIB memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas pada konsumen terkait mekanisme kebijakan dan transparansi dana yang telah dikeluarkan konsumen untuk kantong plastik berbayar.
− Ritel seharusnya memasang media KIE di gerainya di lokasi yang strategis untuk terlihat oleh konsumen, melakukan training pada kasir, dan menyediakan alternatif kantong belanja non plastik dengan harga murah bagi konsumen, serta melakukan tanggung jawab pengelolaan sampah (Extended Producer Responsibility /EPR) dengan menarik kembali sampah kantong plastik yang berasal dari gerainya.
− Ritel dan pemerintah beralih untuk menerapkan kebijakan dalam taraf ekstrem, yaitu TIDAK LAGI MENYEDIAKAN KANTONG PLASTIK untuk mengurangi potensi sampah kantong plastik secara signifikan. Bisa dilakukan dengan mekanisme seperti car free day yg dimulai 1x per minggu ke gerai ritel yang tergabung dalam APRINDO.
− Konsumen dihimbau untuk melakukan perencanaan sebelum berbelanja dan selalu membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Melakukan 3R, dan bijak dalam menggunakan kantong plastik.
YLKI juga menghimbau KLHK melibatkan perwakilan konsumen dalam pembahasan draft PerMen dan juga road map pelaksanaannya.

Mendengarkan penjabaran dari YLKI terutama respon positif masyarakat terhadap kebijakan ini, Bpk. Roy dengan mantap menyatakan, kalau demikian, sekalian saja peritel tidak menyediakan kantong plastik. Karena sesungguhnya, penyediaan kantong plastik adalah sebagai bentuk pelayanan/servis kepada konsumen. Manakala tidak signifikan lagi atau justru menimbulkan banyak problema dalam pelaksanaannya yang merugikan retailer (dianggap meraup keuntungan, harus mengubah sistem, training pegawai, menyediakan berbagai alat peraga dan lain-lain), maka sekalian saja ikuti rekomendasi YLKI yaitu TIDAK LAGI MENYEDIAKAN KANTONG PLASTIK. Respons Bpk. Roy yang tegas mengundang semangat positif dari audiens, utamanya penggiat lingkungan.

Sesi dibuka untuk pertanyaan dan pernyataan dari audiens. Yang pertama adalah Yudi Komarudin, pengurus Aprindo. Beliau menyampaikan uneg-uneg-nya yaitu sepertinya hanya peritel saja yang ditargetkan dengan kebijakan ini, padahal dalam konteks pencemaran laut, sampah yang banyak ditemukan adalah botol minuman dan sampah plastik rumah tangga. Bagaimana pengaturan untuk mereka dan juga pasar tradisional? Mengapa hanya retail saja dengan kantong belanja plastik yang dibidik? Selain itu, beliau memohon untuk sosialisasi dan edukasi PerMen, apapun itu keputusannya, agar memiliki standar yang baku dan juga dianggarkan. Selama ini training front liners dan promotional tools ditanggung oleh retailer, padahal industri retail sedang lesu (mengalami penurunan dari 14,5% menjadi 13,5%.)

Menanggapi hal ini, Bpk. Dirman mengatakan bahwa tujuan utama nantinya adalah mentargetkan semua, termasuk pasar tradisional yang menyumbangkan hampir 90% dari sampah kantong plastik. Hemat moderator, karena Aprindo adalah asosiasi yang terstruktur dan taat sehingga lebih mudah untuk dimonitor dan dijadikan case study. Manakala PerMen sukses, maka dapat direplikasi untuk masalah sampah plastik lainnya.

Pernyataan selanjutnya datang dari Bpk. Wartono, Asosiasi Daur Ulang Plastik, yang menyampaikan “hitung-hitungan”nya terhadap hasil penjualan kantong plastik. Beliau juga mengingatkan “kebohongan” daripada oxydegradable plastic bags yang dengan masa hancur lebih cepat, tetap saja terurai menjadi partikel mikro plastik yang tetap mencemari tanah dan air.

Audiens selanjutnya, masih dari Asosiasi Daur Ulang Plastik, Bpk. Ahmad, berpesan untuk memikirkan dampak sosial bagi masyarakat yang selama ini bergantung dengan sampah plastik. Bila industri pengrajin sampah plastik ini hendak dimatikan, dimatikanlah secara langsung dan tuntas, jangan dibiarkan terkatung-katung kemudian mati perlahan. Kembali moderator menilai perlunya suatu kebijakan yang bersifat tegas, agar semua stake holders dapat segera membuat keputusan berdasarkan kebijakan tersebut demi kelangsungan bisnis dan semua yang menggantungkan hidupnya pada bisnis tersebut.

Kesimpulan yang dirangkum oleh moderator adalah :
1. Semua pihak yaitu pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha retail, dan konsumen SEPAHAM dan SEVISI mengenai bahaya sampah plastik dan upaya untuk mengurangi sampah plastik.
2. Berangkat dari pemahaman yang sepakat tersebut, sekarang yang penting dilakukan adalah PERUMUSAN kebijakan selanjutnya yang dalam hal ini berbentuk Peraturan Menteri (PerMen) yang diharapkan menghasilkan WIN-WIN SOLUTION bagi semua stakeholders, termasuk peritel modern yang saat ini memang sedang lesu. Karena walau target utama adalah pelestarian lingkungan, tidak dapat ditampik bahwa kebijakan yang memajukan industri ritel akan turut meningkatkan perekonomian bangsa.
Yang diharapkan daripada perumusan kebijakan tersebut:

SCOPE atau cakupan kebijakan bersifat menyeluruh (nasional)  poin ini telah disepakati dan menjadi bagian daripada draf PerMen.
PRICE atau harga kantong plastik yang bersifat baku agar tidak memberikan peluang bagi oknum untuk take profit dari perbedaan harga ataupun peluang konsumen untuk menyerang peritel dengan membandingkan harga.
Menghimbau peritel untuk menyediakan alternatif kantong belanja dengan harga terjangkau.
− Mengundang stakeholders dalam penjabaran PerMen ini.
− Memikirkan DAMPAK SOSIAL seperti pada asosiasi daur ulang sampah plastik yang mempekerjakan pemulung dan pengrajin yang selama ini mengolah sampah plastik
ENFORCEMENT. Penalti manakala ada peritel yang memberikan kantong plastik secara cuma-cuma. Untuk ini, peritel harus dapat bekerja sama dalam hal PELAPORAN.
3. Semua stakeholder menginginkan kebijakan dan penerapannya yang bersifat ALL OR NOTHING. Maksudnya agar pemerintah tegas memutuskan dan konsekuen mengeksekusi kebijakan agar tidak bersifat tebang pilih dan dapat dijadikan model case untuk industri lain dengan masalah sampah plastik.
4. EDUKASI dan SOSIALISASI yang bersifat seragam dan DIANGGARKAN.
Adanya panduan yang baku namun fleksibel untuk disampaikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal, tanpa mengurangi inti daripada pesan kantong plastik tidak gratis tersebut.
Panduan yang dimaksud adalah penjelasan kepada konsumen (lisan serta tulisan pada poster yang dipasang disetiap kasir) mengenai, antara lain:
− Menanyakan apakah konsumen membawa kantong belanja sendiri.
− Apresiasi kepada konsumen yang menggunakan kantong belanja dan mempertegas aksi tersebut membantu mengurangi sampah plastik.
− Bila tidak membawa kantong belanja sendiri, menawarkan kantong belanja yang dijual dan penghematan yang dilakukan konsumen untuk jangka yang lebih panjang.
− Bila konsumen tetap ingin membeli kantong plastik, menjelaskan mengenai bahaya sampah plastik, dan mengingatkan untuk membawa kantong belanja sendiri lain kali berbelanja.
− Menjelaskan bahwa harga kantong plastik itu bukanlah keuntungan bagi peritel, melainkan kantong plastik dianggap sebagai barang dagangan.
Perumusan panduan dapat dibantu oleh GIDKP dimana salah satu dari ketiga pilarnya adalah edukasi (mengajak masyarakat untuk bijak dalam menggunakan kantong plastik).
Sebagai perpanjangan dari sosialisasi dan edukasi, peritel dapat membuat program promosi di toko seperti gift with purchase atau customer appreciation programme dengan memberikan kantong belanja special edition.
5. Harapan ke depan agar kebijakan ini tidak hanya ditargetkan pada ritel modern yang sesungguhnya hanya menyumbang kurang dari 10% kantong plastik, melainkan kepada pasar tradisional yang adalah penyumbang terbesar sampah plastik.

Diharapkan bila diterapkan secara masif dan konsisten, maka resistensi akan semakin kecil. Manakala sudah menjadi peraturan yang di-enforce secara tegas, maka masyarakat pasti akan mengikuti, sama halnya seperti saat kita ke Singapura dan tidak membuang sampah sembarangan, atau membayar reusable plastic packaging saat take away makanan di Australia. Banyak negera sukses menerapkan peraturan yang akhirnya membentuk kebiasaan penduduknya. Indonesiapun bisa. Dan manakala kebijakan kantong plastik tidak gratis sukses diberlakukan, akan menjadi tonggak membanggakan bagi Indonesia yang sebelumnya terpuruk sebagai negara penghasil sampah plastik, menjadi success story.

Dialog ditutup dengan ucapan terima kasih kepada moderator dan narasumber oleh Bapak Sudirman dengan memberikan tas daur kriya yang terbuat dari spanduk bekas dan sesi foto bersama. Media yang hadir melanjutkan mewawancarai para narasumber dengan antusias, dan berbagai feedback dari audiens menunjukkan semangat yang positif terhadap kelanjutan kebijakan kantong plastik. Mari kita nantikan dan dukung PerMen serta berbagai upaya yang ada guna mencapai Indonesia Bebas Sampah 2020.

 

*penulis adalah presenter, penulis buku, relawan, dan Duta Diet Kantong Plastik.

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).