,

Polemik Sampah Plastik, Degradable atau Biodegradable?

Jakarta (Greeners) – Sampah plastik selalu membawa kerugian yang begitu besar bagi alam. Di tanah, sampah plastik memiliki waktu yang sangat panjang untuk terurai. Sisanya, sampah plastik akan berakhir di lautan. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang diterima oleh Greeners, saat ini sedikitnya 12,7 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan setiap tahun. Dari jumlah tersebut, terdapat 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi tiap tahunnya.

Indonesia sendiri berada di posisi kedua setelah Cina dari 20 negara yang paling banyak membuang sampah plastik ke laut setiap tahunnya. Dalam siklus 11 tahun, jumlah sampah plastik tersebut mengalami peningkatan dua kali lipat, dimana kemasan dan bungkus makanan atau minuman yang menjadi jenis sampah plastik terbesar.

Melihat semakin berbahayanya dampak sampah plastik ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun aturan penerapan kantong plastik berbayar untuk menekan jumlah plastik yang digunakan oleh masyarakat.

Beberapa industri plastik juga mulai mengubah beberapa jenis plastik yang mereka gunakan, seperti pengalihan dari kantong plastik biasa yang menggunakan bahan polymer yang terdiri dari berbagai macam karbon dan memiliki umur yang sangat panjang dan sulit untuk diuraikan, menjadi plastik degredable dan biodegredable yang disebut-sebut lebih ramah lingkungan dan mudah terurai.

Namun tenyata, antara plastik degredable dan biodegredable memiliki perbedaan. Menurut Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK Henry Bastaman, plastik degredablemasih belum bisa dikatakan ramah lingkungan karena masih menggunakan bahan baku polymer dengan kadar yang cukup tinggi. Sedangkan untuk plastik biodegredable yang menggunakan bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan, katanya, harus yang benar-benar 100 persen diakui kadarnya.

“Kalau biodegredable itu pada umumnya dibuat dari bahan-bahan nabati sedangkan yangdegredable masih memiliki kandungan kimiawi yang hampir sama dengan plastik biasa. Hanya saja, memang degredable memiliki waktu terurai lebih cepat dari plastik biasa, kalaubiodegredable dia bisa langsung terurai,” jelasnya, Jakarta, Selasa (09/02).

Menurut Henry, meski plastik biodegredable masih memiliki kandungan polymer dalam kadar yang sedikit, namun KLHK cenderung lebih setuju untuk penggunaan plastik jenis ini meskipun harganya tergolong lebih mahal dibandingkan plastik biasa.

KLHK, terusnya, juga telah meminta data-data tentang berapa banyak plastik yang telah diproduksi dari industri dan beredar di pasar-pasar tradisional maupun retail modern. “Kami telah meminta data tentang berapa banyak plastik yang diproduksi dan beredar di pasar, baik retail modern maupun pasar tradisional dan yang diekspor itu sudah kita mintakan dari pihak Industri namun belum kita peroleh,” tambahnya.

Sebagi contoh, ujarnya lagi, pihak PT Tirta Marta selaku produsen plastik biodegradable dalam presentasinya pada forum yang diadakan oleh KLHK tahun 2015 lalu menyebutkan bahwa saat ini plastik biodegradable yang mereka produksi sudah meliputi sekitar 90% dari kantong plastik kresek yang digunakan oleh perusahaan retail di Indonesia.

“Bahkan produk plastik biodegradable mereka juga sudah diekspor. Tapi tidak pernah disebut berapa nilai pendapatannya,” pungkas Henry.

Penulis: Danny Kosasih

Artikel di atas dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).