,

KLHK: Kantong Plastik Bukan Hak Konsumen

10 Juni 2016

Jakarta (Greeners) – Hasil monitoring dan evaluasi (monev) penerapan uji coba kantong plastik berbayar menunjukkan adanya salah persepsi dalam menginterpretasikan dan mengimplementasikan Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Pengurangan Sampah Plastik Melalui Penerapan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai Tidak Gratis yang diterbitkan tanggal 21 Februari 2016 lalu.

Salah satu kesalahan persepsi terjadi pada anggapan bahwa kantong plastik adalah hak konsumen dan kewajiban peritel dalam menyediakan kantong plastik. Hal ini dibantah oleh Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan KLHK, Ujang Solihin Sidik. Ia menegaskan bahwa tidak ada tertuang dalam aturan perundang-undangan manapun yang menjelaskan kalau ritel wajib menyediakan kantong plastik untuk konsumen dan kantong plastik merupakan hak konsumen.

“Poin yang penting adalah kantong plastik bukan hak konsumen. Tidak ada undang-undang yang menjelaskan itu dan bukan kewajiban ritel juga untuk menyediakan. Kalau mau kantong plastik, ya, silakan beli. Kalau tidak mau, ya, silakan bawa kantong belanja sendiri. Dana kantong plastik juga bukan dana untuk pemerintah kok,” katanya saat ditemui usai menerima hasil pemaparan Monev Kantong Plastik Berbayar di Daerah, Jakarta, Rabu (08/06).

BACA JUGA: KLHK: 67 Persen Konsumen Dukung Program Kantong Plastik Berbayar

Banyaknya kesalahan persepsi di masyarakat, pemerintah daerah maupun pengusaha ritel, diakui pria yang akrab dipanggil Uso ini, sebagai kesalahan yang dilakukan oleh KLHK. Ia mengaku banyak pesan dari penerapan kantong plastik berbayar ini yang tidak sampai secara utuh. Akibat sosialisasi yang dirasa kurang tersebut, pemasukan dan penjualan kantong plastik yang seharusnya menjadi hak pengusaha menjadi rancu di masyarakat. “Sosialisasi kami lemah, kami akui,” ujarnya.

Di Yogyakarta, Kasubid Daur Ulang Sampah Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta Faizah menyatakan dirinya juga baru mengetahui hal ini usai mengikuti pemaparan Monev dari KLHK. Sebelumnya, ia mengaku cukup kesulitan menjawab pertanyaan dari masyarakat maupun ritel tentang kemana pemanfaatan uang hasil penjualan kantong plastik tersebut.

“Ritel yang sudah menerapkan kantong plastik berbayar bertanya kepada kami uangnya itu mau dikemanakan. Terus terang kami tidak punya jawaban yang pas karena dari pusat pun belum ada petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang jelas dari KLHK. Lalu kami juga menganggap hal seperti ini sebagai kendala karena kami belum punya kekuatan hukum untuk menyampaikannya kepada ritel,” jelasnya kepada Greeners.

BACA JUGA: Kebijakan Kantong Plastik Berbayar, Pengusaha Plastik Diminta Tidak Khawatir

Sejak dimulainya uji coba kantong plastik tidak gratis pada 21 Februari 2016 lalu, lanjutnya, telah ada delapan ritel yang ikut melaksanakan uji coba tersebut. Empat ritel merupakan ritel berjejaring dan empat lainnya adalah ritel atau toko modern lokal. Untuk ritel modern, hasil penjualan kantong plastik berbayar digunakan untuk kegiatan Corporate Social Responsibilty(CSR), namun tidak dikhususkan untuk kegiatan lingkungan.

“Ini kekhawatiran kami. Kenapa Kota Yogya masih belum membuat sebuah aturan formal seperti peraturan Walikota atau bahkan sampai ke peraturan Daerah karena payung hukumnya belum ada. Kami khawatir kalau nanti masyarakatnya bertanya dasar hukumnya apa, ini kan belum ada aturannya yang jelas,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Uso menyatakan arah dari program kantong plastik berbayar ini adalah menjadi barang dagangan dan ritel maupun toko modern mendapat pemasukan dari penjualan kantong plastik tersebut agar pemerintah tidak menyalahgunakan uang hasil penjualan kantong plastik. Sejak Surat Edaran pertama, lanjutnya, semua pihak telah sepakat bahwa uang hasil penjualan memang menjadi milik ritel.

“Uang jadi milik mereka, itu jual putus. Silakan dimanfaatkan. Tapi kita arahkan kalau mau jadi CSR, arahnya ke yang dukung kebijakan lingkungan. Tapi ternyata pengusaha juga takut gunakan itu karena ada desakan juga dari publik,” tegasnya.

BACA JUGA: Aprindo Minta Keleluasaan Menentukan Harga Kantong Plastik Berbayar

Lebih jauh ia menyarankan kepada kota-kota lainnya untuk menyontoh keberhasilan kota Banjarmasin dalam menjalankan Surat Edaran KLHK yang berani mengeluarkan surat keputusan untuk meminta ritel modern tidak lagi menyediakan kantong plastik sejak satu Juni 2016.

“Kelebihan Banjarmasin ini soal pendekatan, makanya ritel nurut-nurut saja kok. Saya lihat ada komitmen Wali Kota, lalu BLH-nya juga serius, kedekatan dengan wartawan, komunitas dan masyarakat juga ada,” kata Uso.

Sebagai informasi, pemaparan hasil Monev Kantong Plastik Berbayar ini dilakukan oleh 12 perwakilan kota yang hadir dari 23 kota yang telah berkomitmen untuk terlibat dalam penerapan Kantong Plastik Tidak Gratis ini. Ke-12 kota tersebut adalah Banjarmasin, Balikpapan, Kendari, Jogjakarta, Depok, Surabaya, Bandung, Palembang, Tanggerang selatan, Bekasi, Jayapura dan Medan.

Penulis: Danny Kosasih

 

Artikel di atas dimuat oleh Greeners yang dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).