,

Ada Program “Tambahan Harga Keresek”, Siap Bawa Kantong Plastik Sendiri?

JAKARTA, KOMPAS.com – Mulai 21 Februari 2016, penggunaan setiap kantong plastik alias kresek akan dikenakan tambahan biaya. Seberapa siap masyarakat membawa sendiri kantong atau tas dari rumah ketika berbelanja?

Kebijakan “plastik berbayar” itu merupakan respons atas menggunungnya sampah dari material sulit terurai tersebut. Uji coba digelar di 22 kota di Indonesia, sampai 5 Juni 2016. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kompas menggelar survei untuk memotret pemahaman masyarakat atas tantangan ini.

Merujuk survei itu, kalangan paling siap membawa kantong atau tas dari rumah ternyata para pelajar dan mahasiswa. Sebanyak 75,9 persen responden dari kalangan ini menyatakan setuju membawa dari rumah wadah untuk barang belanjaannya.

“Kantong plastik baru dapat mulai terurai paling tidak selama lebih dari 20 tahun di dalam tanah. Jika kantong plastik itu berada di air, akan lebih sulit lagi terurai,” kata Yuliana Rini DY, dari Balitbang Kompas,Selasa (26/1/2016).

Tingginya kepadatan penduduk, tulis Yuliana, membuat konsumsi masyarakat pun tinggi. Di sisi lain, lahan untuk menampung sisa konsumsi terbatas. Terlebih lagi banyak sampah konsumsi tersebut yang tak mudah terurai, terutama plastik. Kondisi ini disadari sebagian masyarakat dengan menumbuhkan upaya pengurangan sampah plastik.

Merujuk data riset Jenna R Jambeck, Yuliana menyebutkan Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut, setelah China. Adapun mengutip riset Greeneration, setiap orang di Indonesia rata-rata menggunakan—dan menghasilkan sampah—700 kantong plastik per tahun. (Kompas, 23 Januari 2016).

Balitbang KompasHasil survei yang digelar Badan Litbang dan Penelitian Kompas pada 20-22 Januari 2016, sebagaimana tayang di print.kompas.com pada Selasa (26/1/2016), terkait kesiapan masyarakat membawa kantong plastik dari rumah setiap kali berbelanja.

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan tiga dari lima responden mengakui perlunya membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi limbah plastik. Beberapa warga bahkan sudah membawa kantong belanja sendiri saat berbelanja ke mal.

Dari survei ini, perilaku mengelola sampah plastik cenderung dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kelompok usia. Semakin tinggi pendidikan, semakin banyak yang menyetujui kebiasaan ini.

Separuh lebih responden berpendidikan tinggi setuju dengan kebiasaan ini, sedangkan responden berpendidikan menengah di angka sekitar 40 persen. Sebaliknya, tak lebih dari 10 persen warga berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), yang setuju membangun kebiasaan membawa kantong plastik sendiri untuk berbelanja.

Adapun berdasarkan kelompok umur, responden berusia muda di bawah 35 tahun cenderung sudah lebih sadar lingkungan. Pada dasarnya, sebagian besar responden muda setuju dengan perilaku menghemat kantong belanja.

Sekitar tujuh dari sepuluh responden muda perkotaan itu bersedia membawa kantong belanja sendiri jika belanja di supermarket. Sebaliknya, mereka yang berusia lebih senior ada kecenderungan lebih enggan repot dengan urusan membawa kantong plastik ini. “Alasan yang acapkali disampaikan yaitu ribet dan merepotkan,” tulis Yuliana seperti tayang di print.kompas.com, Selasa.

Kebijakan “plastik berbayar” akan memberikan tambahan ongkos Rp 500 per kantong plastik belanjaan. Dari nominal itu, Rp 200 akan dibayarkan kembali bila pelanggan belakangan membawa kembali kantong itu kepada peritel, dan Rp 300 digunakan peritel untuk kegiatan lingkungan bersama pemerintah daerah.

Namun, angka-angka itu baru usulan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Usulan daerah untuk nominal tambahan “harga” plastik bervariasi, antara Rp 500 sampai Rp 5.000. (Baca juga:“Keresek” Berbayar, Ini Tanggapan Industri Plastik).

Adapun 22 kota yang mengikuti uji coba plastik berbayar ini antara lain Banda Aceh, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, Ambon, Jayapura, dan DKI Jakarta. Setelah uji coba pada 21 Februari 2016 hingga 5 Juni 2016 nanti akan ada evaluasi pelaksanaan yang hasilnya menjadi kebijakan untuk diterapkan secara permanen di Indonesia.

Yuliana menambahan, survei perilaku pelanggan kresek tersebut diikuti 488 orang di 12 kota, dengan jumlah responden proporsional per kota.

“Kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia,” imbuh dia.

 

Artikel ini diambil dari Kompas.com yang dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).