Envirochallenge 2017: Plastik di Laut, SDGs, dan Envirochallenge

Istilah sustainability atau berkelanjutan akhir-akhir ini cukup sering didengar. Terlebih lagi sejak diperkenalkannya SDGs atau Sustainable Development Goals, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jika kita ingat istilah MDGs (Millenium Development Goals) yang diperkenalkan tahun 2000 dan berakhir di tahun 2015, ternyata berhubungan dan dilanjutkan dengan SDGs. Dari 8 (delapan) tujuan besar dalam MDGs berkembang menjadi 17 (tujuh belas) tujuan pada SDGs. Konsep berkelanjutan yang kita kenal sebagai 3P (planet, people, dan profit) berkembang menjadi 5P dengan tambahan peace dan partnership.

Bukan hanya urusan pemerintah saja lho isu berkelanjutan ini. Namun, pemuda juga punya peranan penting. United Nations Population Fund (UNFPA) pada tahun 2012 memperkirakan bahwa ada sekitar 43% dari total populasi dunia adalah pemuda yang berusia di bawah 25 tahun. Artinya, kelompok pemuda ini memiliki suara yang bisa didengar dan menggerakkan seluruh dunia. Survey statistik yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 tentang kepemudaan menunjukkan bahwa populasi pemuda di Indonesia adalah 24,20% dari total penduduk Indonesia, yaitu berkisar 61,68 juta jiwa. Pemuda yang dimaksud adalah mereka yang berusia 16-30 tahun. Lebih lanjut dalam survey tersebut, hanya 5,86% pemuda yang aktif berorganisasi. Namun, hanya 8,95% dari pemuda tersebut yang memanfaatkan organisasi sebagai sarana belajar kepemiminan. Sangat disayangkan jika masa muda tidak diisi dengan kegiatan berorganisasi yang dapat membentuk pribadi kita dalam memandang suatu permasalahan dan menjadi bagian dalam pemecahan permasalahan itu sendiri.

Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Indonesia, @america, dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik menginisiasi program Envirochallenge yang dimulai di tahun 2016. Program ini mendorong pemuda di Indonesia, khususnya siswa sekolah menengah atas/sederajat untuk memiliki inisiatif dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dimulai dari lingkungan sekolahnya. Tahun ini, Envirochallenge mendukung dilaksanakannya SDGs khususnya tujuan nomor 12, yaitu Responsible Consumption and Production serta tujuan nomor 14, yaitu Life Below Water. Tujuan ini diambil sesuai dengan permasalahan sampah plastik di laut yang semakin memprihatinkan, yang juga menjadi topik utama Envirochallenge tahun ini.

Masalah sampah plastik di laut menjadi sorotan setelah dipublikasikannya riset mengenai sampah plastik di lautan oleh peneliti dari Universitas  Georgia, Dr. Jenna Jambeck. Hasil risetnya menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari 192 negara sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam 5 besar penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan dengan urutan Tiongkok, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Srilanka.

This is a global problem”, ungkap Jenna Jambeck ketika mengisi talkshow di @america di bulan Juni lalu. Tentu saja jika tidak ada kesadaran akan pengelolaan sampah yang baik dan benar maka semua sampah akan berakhir di laut. Semua negara menghadapi masalah yang sama. Di Amerika yang banyak terdampak adalah di wilayah Pasifik. Hal itu ditemui oleh Dr. Jenna ketika ia mengunjungi Canary Island dan melihat banyak mikroplastik di sana.

Dampak dari sampah plastik akan berpengaruh pada kehidupan hewan. Dr. Jenna Jambeck menunjukkan beberapa gambar yang merupakan bukti dampak dari kehadiran sampah plastik di laut. Plastik yang berakhir di laut akan dikonsumsi oleh ikan-ikan. Indera penciuman hewan laut akan menganggap bahwa plastik sama seperti makanannya. Jika ikan-ikan di laut yang terdampak plastik dimakan oleh manusia, akan berpengaruh pada kesehatan dan lebih buruk lagi akan menyebabkan kematian.

Tak hanya itu, Dr. Jenna Jambeck juga menampilkan infografik untuk menjelaskan lebih rinci ke mana sampah plastik akan bermuara. Pada tahun 2010, jumlah produksi sampah plastik global mencapai 270 juta metric ton yang hitung dari 192 negara dan total sampah plastik mencapai 275 juta metric ton. Dari sini dapat kita bayangkan berapa jumlah sampah yang kita hasilkan selama ini.

Persoalan sampah plastik di laut kembali menjadi sorotan dunia saat sebanyak 30 kantong plastik dan sampah plastik lainnya ditemukan dalam perut paus di perairan Norwegia beberapa waktu lalu. Sampah plastik di pesisir laut Indonesia membuat pemerintah Indonesia semakin serius untuk mengatasinya. Pemerintah Indonesia menargetkan untuk dapat mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada akhir 2025 mendatang.

Kementerian Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia menyatakan sudah menyiapkan sejumlah tahapan, antara lain melalui pendidikan. Menurut Deputi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Safri Burhanudin, tahapan pertama adalah memberikan pendidikan kembali, perubahan mindset dari pendidikan untuk anak-anak dari usia dini, kemudian dilanjutkan dengan pengurangan dari sampah yang ada baik di darat, karena 80% sampah laut dari darat dan harus dikontrol bersama-sama.

Meraih pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan berarti kita harus menyadari pentingnya pengurangan jejak ekologi dengan mengubah cara kita memproduksi dan mengkonsumsi makanan dan sumber daya lainnya. Pengelolaan efisien dalam penggunaan sumber daya alam milik bersama, dan cara kita membuang sampah beracun dan polutan adalah target penting untuk meraih tujuan ini. Selain itu mendorong industri, bisnis, dan konsumen untuk mendaur ulang dan mengurangi sampah sama pentingnya, seperti halnya juga mendukung negara-negara berkembang untuk bergerak menuju pola konsumsi yang lebih berkelanjutan pada 2030.

SDGs juga menciptakan kerangka kerja berkelanjutan untuk mengatur dan melindungi ekosistem laut dan pantai dari polusi yang berasal dari darat, juga untuk menyadarkan akan dampak pengasaman samudera. Memperkuat pelindungan dan penggunaan sumber daya laut yang berkelanjutan melalui hukum internasional juga akan membantu mengatasi tantangan yang dihadapi samudera kita.

Produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab dan melindungi lautan kita adalah dua dari 17 Tujuan Global yang tersusun dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Dalam hal ini, pendekatan solusi terpadu sangat penting demi kemajuan di seluruh tujuan.

Envirochallenge hadir sebagai salah satu bentuk kepedulian Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik dalam menjawab tantangan global akan permasalahan lingkungan hidup yang terjadi. Utamanya, Envirochallenge diharapkan dapat membantu pemerintah Republik Indonesia dalam targetnya mengurangi dampak buruk dari produksi dan konsumsi plastik yang berlebihan yang mengakibatkan terjadinya sampah plastik di lautan melalui program pendidikan untuk pemuda Indonesia. Selain itu juga, harapan ke depannya adalah Envirochallenge dapat menjadi wadah anak muda Indonesia untuk membuat inisiatif dalam rangka penyelamatan lingkungan hidup demi terwujud kehidupan lestari yang berkelanjutan.

Download formulir keikutsertaan disini.

Download Syarat dan Ketentuan disini.

 

Disarikan dari berbagai sumber oleh Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik

Sumber-sumber tulisan:

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40318924

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170224090306-20-195843/ancaman-sampah-plastik-yang-menggunung-di-laut-indonesia/

http://dewa-rahyang.com/2017/04/23/sdgs-apa-itu/

http://dietkantongplastik.info/2017/06/16/jenna-jambeck-setiap-orang-harus-kurangi-sampah-plastik/

http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/post-2015/sdg-overview/goal-12.html

http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/post-2015/sdg-overview/goal-14.html

 

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).