, , , ,

Lebih dari 100 Organisasi dan Komunitas se-Indonesia Ikut Serta Dalam Pawai Bebas Plastik 2020

Jakarta, 25 Juli 2020. Tingkat partisipasi organisasi masyarakat sipil dan komunitas sangat tinggi dalam kegiatan Pawai Bebas Plastik tahun 2020. Ini ditunjukkan lewat keikutsertaan lebih dari 100 organisasi dan komunitas di penyelenggaran tahun kedua pawai. Salah satu pertanda bahwa masyarakat semakin teredukasi dan menyadari bahwa krisis sampah plastik perlu segera diselesaikan dengan kebijakan riil dan terintegrasi.

Langkah maju sejumlah daerah termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sudah melahirkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat, seyogyanya dieskalasi dalam kebijakan di level nasional [2]. Pasalnya, dalam dokumen National Plastic Action Partnership, Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik di lautan sebanyak 70% pada 2025, dan bebas sampah plastik pada 2040.
Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, menyebutkan, saat ini ada lebih dari 30 kabupaten/kota dan juga provinsi yang telah memiliki peraturan di tingkat daerah untuk melarang penggunaan kantong plastik dan plastik sekali pakai lainnya. Pada pawai tahun lalu, Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu yang didorong untuk mengikuti jejak Provinsi Bali yang telah lebih dahulu menerapkan pelarangan pada kantong plastik, sedotan, dan polistirena. “Dalam pawai kali ini tentunya kami menargetkan hal yang lebih besar yakni menuntut kebijakan pelarangan plastik sekali pakai di level nasional,” tegas Tiza.

Pawai Bebas Plastik menegaskan kembali tiga tuntutan yang sudah disuarakan pada kegiatan tahun lalu [3], yakni: (1) Mendorong pemerintah untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai; (2) Mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem tata kelola sampah; dan (3) Mendorong produsen dan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas sampah pasca konsumsi.
“Seiring dengan bertambahnya jumlah partisipan pawai tahun ini, kami sangat yakin pemerintah dan swasta akan merancang kebijakan yang berorientasi pada pengurangan sebagai yang utama, lalu tata kelola sampah plastik. Apalagi di masa pandemi, penggunaan plastik sekali pakai tidak terelakkan, sehingga perlu penanganan yang serius dan baik dari pemerintah,” ujar Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Daerah Walhi DKI Jakarta.

Sampah plastik pada masa pandemi Covid19
Di masa pandemi Covid19, konsumsi plastik sekali pakai mengalami kenaikan seiring dengan berjalannya skema bekerja dari rumah (work from home) selama masa pembatasan sosial berskala besar, sehingga sistem belanja online pun diminati [4], termasuk pula perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) yang sebagian besar didominasi oleh bahan plastik sekali pakai.

Sumardi Ariansyah, Ocean Program Econusa, menuturkan, “Volume sampah yang tercipta di masa pandemi harus segera diatasi dengan penanganan secara cepat dan menyeluruh. Jangan sampai sampah plastik termasuk medis tidak terangkut dan berada di tempat yang tidak seharusnya. Karena pemberitaan soal sampah medis, seperti masker sekali pakai bahkan APD, yang ditemukan di pantai hingga laut, cukup banyak. Ini tidak hanya berbahaya bagi masyarakat pesisir, tetapi juga ekosistem laut.”

Tata kelola sampah nasional
Sistem pemilahan belum ideal dalam sistem pengelolaan sampah nasional. Masih banyak sampah yang belum terpilah dari sumber dan ditangani sesuai dengan jenis/karakteristiknya. Tingkat daur ulang dalam negeri pun masih rendah, yaitu sekitar 10%. Alhasil, kapasitas sejumlah tempat pemrosesan akhir (TPA) pun terlampaui.
“Sampah plastik yang tidak tertampung dalam TPA banyak mengalir ke sungai dan laut. Melihat berbagai penemuan sampah plastik di dasar laut dan di dalam perut bangkai satwa laut, sungguh menyedihkan. Sampah plastik tidak akan terurai, dan bisa berada di dalam laut untuk jangka waktu yang lama sehingga berpotensi menyebabkan kematian satwa yang lebih besar,” ujar Swietenia Puspa, Direktur Eksekutif Divers Clean Action.

Tanggung jawab produsen
Pemerintah Indonesia menargetkan 100% pengelolaan sampah pada tahun 2025 dengan menitikberatkan pada 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah. Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden No. 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Perlu dicatat, krisis sampah plastik bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat.
“Sesuai dengan Undang Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, produsen memiliki peran penting, namun kami belum melihat tanggung jawab produsen dalam upaya pengelolaan sampah di Indonesia, baik pengurangan maupun penanganan. Sedikit sekali produsen yang menarik kembali kemasan pasca konsumsinya untuk ditangani atau didaur ulang,” sebut Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia. Perlu diketahui, kebanyakan kemasan produk perusahaan produsen kebutuhan sehari-hari (FMCG) berbentuk sachet atau multilayer yang sulit didaur ulang.
Tanggung jawab produsen kini sudah dijabarkan lebih detail dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh produsen, di mana arahan kepada produsen untuk segera berkontribusi dalam mengurangi sampah, yang berlaku efektif maksimal pada tanggal 1 Januari 2030.

Butuh peran serta multipihak
Gumilang Reza Andika, Senior Impact Measurement Officer Kopernik mengatakan, keterlibatan banyak pihak sangat penting untuk menyelesaikan krisis sampah plastik secepat mungkin. Oleh sebab itu, kegiatan pawai bebas plastik diharapkan tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi juga bisa dilakukan di berbagai kota lainnya. “Kondisi pandemi tidak menyurutkan semangat kami untuk melakukan pawai bebas plastik. Dengan cara daring, kami berharap semakin banyak masyarakat yang ikut serta dan teredukasi,” ujar Marsya Nurmaranti, Direktur Eksekutif Indorelawan.

“Kita harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap plastik sekali pakai dengan hal sederhana di keseharian kita. Misalnya, berbelanja dengan tas belanja sendiri, membeli makanan dan minuman dengan peralatan makan sendiri. Sesederhana itu, dan berharap kebiasaan baik dilakukan oleh semakin banyak masyarakat,” ujar Kaka Slank, Musisi dan Aktivis Lingkungan.

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).