,

Plastik Berbayar, Sampah Berkurang?

Persoalan sampah di perkotaan tak kunjung selesai. Tingginya kepadatan penduduk membuat konsumsi masyarakat pun tinggi. Di sisi lain, lahan untuk menampung sisa konsumsi terbatas.

Ditambah lagi sampah konsumsi warga perkotaan itu banyak yang tidak mudah terurai, terutama plastik. Sampah plastik yang semakin menumpuk menimbulkan pencemaran yang serius. Kondisi ini disadari sebagian masyarakat dengan menumbuhkan upaya pengurangan sampah plastik.

Kantong plastik baru dapat mulai terurai paling tidak selama lebih dari 20 tahun di dalam tanah. Jika kantong plastik itu berada di air, akan lebih sulit lagi terurai.

Hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan (publikasi diwww.sciencemag.org 12 Februari 2015) yang diunduh dari lamanwww.iswa.org pada 20 Januari 2016 menyebutkan Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka.

Menurut Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Di alam, kantong plastik yang tak terurai menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem (Kompas, 23 Januari 2016).

Kondisi ini menjadi salah satu pemicu Indonesia dalam kondisi darurat sampah. Namun, tidak semua masyarakat menyadari kondisi ini.

Salah satu usaha mengurangi sampah plastik adalah dengan menghemat penggunaan kantong plastik. Caranya membawa kantong plastik belanja sendiri sejak dari rumah.

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan tiga dari lima responden mengakui perlunya membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi limbah plastik. Beberapa warga bahkan sudah membawa kantong belanja sendiri saat berbelanja ke mal.

Jika dirunut, perilaku mengelola sampah plastik cenderung dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan, semakin banyak yang menyetujui kebiasaan ini.

Separuh lebih responden berpendidikan tinggi setuju dengan kebiasaan ini, sedangkan responden berpendidikan menengah di angka sekitar 40 persen.

Hal itu berbeda dengan warga berpendidikan rendah (SLTP ke bawah). Responden berpendidikan dasar yang setuju dengan kebiasaan ini persentasenya tidak mencapai 10 persen.

Kesadaran mengurangi plastik pun terlihat dari sisi usia. Responden berusia muda, yaitu di bawah 35 tahun, cenderung lebih sadar lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Gigih (20), seorang mahasiswa di Bandung. Ia menyadari kalau kantong plastik merupakan limbah yang harus dikurangi dan dapat mencemari lingkungan.

Oleh karena itu, setiap kali berbelanja di supermarket, ia sering membawa kantong belanja sendiri. Pengetahuannya soal perlunya menjaga lingkungan kebanyakan diakses dari internet dan pergaulan di kampus.

Sikap masyarakat

Aktivis  menukar kantong plastik yang dibawa pengunjung dengan kantong kain saat aksi simpatik ajakan untuk tidak menggunakan kantong plastik di Kebun Binatang Surabaya, beberapa waktu lalu. Kampanye ini untuk mengurangi sampah plastik.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pembeli  bersiap membawa belanjaan mereka yang dibungkus kantong plastik di sebuah pasar swalayan di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah berencana menerapkan pembatasan kantong plastik pembungkus untuk mengurangi sampah plastik yang sulit terurai.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Pada dasarnya, sebagian besar responden muda setuju dengan perilaku menghemat kantong belanja. Sekitar tujuh dari sepuluh responden muda perkotaan itu bersedia membawa kantong belanja sendiri jika belanja di supermarket. Namun, responden dengan usia lebih senior tampaknya sedikit lebih enggan direpotkan dengan urusan membawa tas kantong sendiri saat berbelanja.

Keengganan ini senada dengan sebagian responden yang tidak mau menghemat kantong plastik. Sekitar 40 persen responden tidak mau membawa kantong belanja sendiri. Alasan yang acapkali disampaikan yaitu ribet dan merepotkan.

Mereka enggan dan malu menenteng kantong sendiri. Selain itu, kebiasaan ini dianggap tidak praktis karena harus membeli kantong belanja khusus. Bahkan, ada anggapan dari beberapa responden jika membawa kantong sendiri takut disangka mencuri.

Dari segi pemanfaatan, kantong plastik yang diperoleh dari warung, toko, dan supermarket pada umumnya dimanfaatkan kembali. Sebagian besar responden memanfaatkan kantong keresek ini untuk kantong sampah sisa-sisa dapur sebelum dibuang ke tempat sampah.

Selain itu, juga dapat digunakan untuk pembungkus barang dan makanan. Sekitar 77 persen responden melakukan hal tersebut, sedangkan sisanya langsung membuang ke tempat sampah atau dibakar (15 persen).

Ada pula responden yang memanfaatkan plastik keresek tersebut menjadi produk daur ulang seperti untuk barang-barang kerajinan. Namun, tidak banyak responden yang melakukan kegiatan ini, yakni hanya sekitar 8 persen responden.

Di kota besar seperti di DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang kebijakan pengelolaan sampahnya sudah maju masih saja dijumpai warga yang belum sadar lingkungan. Masih ada sebagian warganya yang tidak bersedia menghemat kantong plastik.

Responden jajak pendapat yang tinggal di DKI Jakarta ada sebanyak 30 persen, Bandung 26 persen, dan Surabaya 34 persen. Salah satu alasan yang terungkap yaitu mereka menganggap kantong plastik tersebut wajib disediakan oleh peritel. Itu menjadi fasilitas konsumen jika belanja di supermarket sehingga jangan dibebankan kepada masyarakat.

Tas keresek berbayar

Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Salah satunya adalah menerapkan program “plastik berbayar”. Program plastik berbayar digunakan pemerintah untuk mengubah perilaku masyarakat yang selama ini dimanjakan peritel dalam hal pembungkus barang belanjaan. Program ini memaksa pembeli di supermarket untuk membayar setiap plastik yang akan dipakai untuk membungkus barang belanjaannya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengusulkan harga yang dikenakan Rp 500 per kantong plastik. Sejumlah Rp 200 dikembalikan kepada konsumen yang mengembalikan “keresek” kepada peritel, sedangkan Rp 300 digunakan peritel untuk kegiatan lingkungan bersama pemerintah daerah. Namun, per kantong plastik bervariasi tergantung kebijakan daerah masing- masing, berkisar Rp 500-Rp 5.000.

Program ini akan diujicobakan ke 22 daerah di seluruh Indonesia, tergantung kesiapan pemerintah daerah masing-masing, di antaranya Banda Aceh, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, Ambon, Jayapura, dan DKI Jakarta.

Setelah uji coba pada 21 Februari 2016 hingga 5 Juni 2016, akan ada evaluasi pelaksanaan yang hasilnya menjadi kebijakan yang diterapkan permanen di Indonesia.

(LITBANG KOMPAS)

Artikel diambil dari Kompas.com yang dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).