,

Tahun 2027, Dunia Akan Dibanjiri 1,3 Triliun Sampah Plastik Sachet

Sampah plastik masih terus menjadi problematika yang belum terselesaikan hingga saat ini. Jumlah sampah plastik diprediksi akan terus meningkat, terutama sampah plastik jenis multilayer (kemasan sachet). Kemasan sachet plastik multi lapis (multilayer) yang digunakan dalam berbagai produk kebutuhan rumah tangga, mulai dari cairan pembersih, personal care hingga pembungkus makanan dan minuman telah menimbulkan bahaya serius dan sangat membahayakan bagi lingkungan akibat tingkat daur ulang dan nilai limbah pasca konsumsi sangat rendah dibandingkan dengan kemasan lain seperti botol PET (Polietilena Tereftalat). 

Berdasarkan laporan Greenpeace tahun 2020 yang berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions”, sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global pada tahun ini, dan Asia Tenggara merupakan wilayah yang memegang pangsa pasar sekitar 50%. Tahun 2027 diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 triliun. Bisa dibayangkan berapa banyak lagi sampah sachet yang dihasilkan apabila penggunaannya semakin meningkat setiap harinya.

Dari segi pemasaran produk, kemasan sachet memang sangat menguntungkan, karena memiliki kemampuan untuk melindungi produk yang sangat baik dan lebih mudah bagi produsen membuat inovasi terhadap produknya. Namun, plastik kemasan sachet merupakan jenis plastik multilayer yang sifatnya sangat sulit terurai. 

Kemasan sachet terbentuk lebih dari satu jenis polimer dan memiliki 3-4 lapisan. Lapisan tersebut terdiri dari plastik bening, alumunium foil, lapisan gambar produk dan lapisan kertas yang dilaminasi. Lapisan bertumpuk tersebut yang menyebabkan kemasan plastik sekali pakai dipisahkan Hal tersebut akibat bahan baku yang digunakan berasal dari bahan yang mempunyai titik leleh berbeda, sehingga tidak mudah untuk dilebur.

Kemasan sachet merupakan jenis plastik multilayer yang sangat sulit didaur ulang. Sachet juga merupakan jenis sampah plastik yang sejatinya kurang disukai oleh pengusaha daur ulang sehingga biasanya ditolak karena susah untuk didaur ulang 

Sampah plastik jenis multilayer ini juga sulit didaur ulang. Para pengusaha daur ulang memilih untuk tidak menggunakan sampah jenis ini. Rendahnya angka industri daur ulang sampah plastik multilayer ini menyebabkan terjadinya penumpukan. Akibatnya dampak negatif dari penumpukan plastik multilayer mengancam kerusakan lingkungan hingga kesehatan manusia. 

Dampak negatif dari penumpukan plastik multilayer secara fisik yaitu terbentuknya mikroplastik. Mikroplastik merupakan partikel plastik atau fiber yang berukuran < 5 mm. Mikroplastik mempunyai 2 tipe, yaitu primer dan sekunder. Plastik multilayer akan menghasilkan mikroplastik sekunder akibat adanya proses degradasi bahan tersebut. Mikroplastik yang sudah tersebar di lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan manusia. 

Menimbang permasalahan sampah sachet yang terjadi saat ini, pengamat persampahan, Sri Bebassari, mengatakan, produsen harus memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan sampah sachet yang mereka hasilkan. “Kita seharusnya mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang No 18 tentang Pengelolaan Sampah. Di situ disebutkan bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan dari produk yang mereka buat,” tukas Sri.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang memiliki wewenang dalam memberi izin produksi dinilai sebagai pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab. “Seharusnya, pada saat produsen meminta izin produksi, Kemenperin harus lebih dulu meminta semacam proposal dari industri tentang rencana atau strategi setelah barang mereka dikonsumsi,” cetusnya.

Strategi ini harus bisa menjawab solusi dari persoalan potensi sachet yang akan dihasilkan produknya. Jika tidak, mimpi buruk dunia akan dibanjiri sampah plastik pada tahun 2027 akan menjadi nyata loh.

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).