, , ,

Zero Waste : Solusi Menyelesaikan Permasalahan Sampah Plastik

Isu pengelolaan sampah menjadi topik pembicaraan yang sedang hangat dibicarakan. Tidak hanya di Indonesia saja tetapi sudah menjadi permasalahan global dan didiskusikan oleh berbagai kalangan. Indonesia masih menganut sistem pengelolaan “kumpul-angkut-buang”. Jadi, tidak ada pengelolaan yang terpadu sehingga sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) yang bisa menyebabkan penyakit dan kerusakan lingkungan lainnya.

Konsep zero waste bukanlah sesuatu yang baru. Konsep ini sudah lama dilakukan oleh negara2 di Eropa dan Amerika serta dapat menjadi solusi konkret yang dapat diterapkan dalam manajemen pengelolaan sampah. Negara-negara di dunia yang sudah menerapkan konsep ini diantaranya, Amerika, Australia, Swedia, Selandia Baru dan beberapa negara Eropa lainnya.

Pada Kamis, 27 Juli 2017 bertempat di Paramadina Graduate School, Gedung Tempo Jakarta, Aliansi Zero Waste Indonesia menggelar talkshow bertajuk “Break Free From Plastic” yang menghadirkan pembicara dari beberapa organisasi lingkungan dunia seperti Break Free From Plastic, GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives), Zero Waste Europe dan Greenpeace Indonesia. Acara ini diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan negara Indonesia.

Pada sesi pertama diisi dengan presentasi materi dari para ahli di bidang permasalahan sampah. Von Hernandez dari Break Free From Plastic membuka sesi pertama dengan memberikan penjelasan mengenai tujuan utama dari adanya gerakan #breakfreefromplastic. Pada dasarnya #breakfreefromplastic adalah sebuah upaya untuk mewujudkan masa depan dunia yang bebas dari polusi sampah plastik. Mereka percaya bahwa dunia ini diciptakan untuk kehidupan yang baik. Namun, sayangnya sekarang ini kehidupan kita penuh dengan ancaman sampah. Von menekankan pentingnya mengurangi sampah dimulai dari sumbernya.

Perusahaan-perusahaan pasti akan terus memproduksi barang. Konsumen akan terus membelinya sampai kapanpun. Misalnya saja elektronik. Muncul produk baru lalu kita membelinya, meskipun barang sebelumnya masih layak pakai. Barang-barang yang kita gunakan pasti punya masa waktunya. Tidak sedikit yang juga rusak dalam waktu yang singkat. Dan semuanya dibuang begitu saja. Alangkah baiknya produk tersebut ditarik kembali oleh perusahaan pembuat. Mereka harus menjalankan konsep EPR (Extended Producer Responsibility)”, jelas Von Hernandez.

Selanjutnya dari Greenpeace Indonesia, Arifsyah M. mewakili Aliansi Zero Waste Indonesia menjelaskan permasalahan sampah di Indonesia yang sudah darurat untuk segera diselesaikan. Masyarakat menghasilkan paling banyak sampah organik sekitar 70%, sisanya adalah botol plastik, kantong plastik, styrofoam dan sampah lain yang sulit terurai serta tidak bisa didaur ulang. Angka sampah organik yang sangat besar berpotensi untuk diolah kembali menjadi pupuk kompos. Sehingga, beban TPA dapat berkurang.

Pembicara ketiga di sesi pertama adalah Magdalena dari GAIA Amerika Latin. Ia bercerita pengalamannya mengorganisir masyarakat di negara-negara Amerika Latin untuk bergabung dalam gerakan zero waste. Negara-negara yang tergabung antara lain, Brazil, Chile, Costa Rica, dan Argentina. Negara-negara tersebut melakukan kampanye untuk menolak kehadiran insinerator/ sampah yang dibakar. Bagi mereka, solusi tepat penanganan sampah adalah dengan mereduksi dari sumbernya.

Joan Marc Simon dari Zero Waste Europe memperkuat berbagai fakta dan pernyataan-pernyataan dari narasumber sebelumnya. Johan memaparkan pendekatan Circular Economy di Eropa. Pendekatan ini adalah upaya kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam menyelesaikan problematika persampahan secara bersama-sama.

Circular Economy/ sistem ekonomi melingkar memberikan peluang kepada industri daur ulang untuk mengolah kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai dan masih bisa diolah kembali menjadi sebuah produk yang berguna. Jika sampah basah dapat diolah menjadi pupuk kompos dan sampah non organik diolah kembali (recycle), maka cukup membantu mengurangi timbulan sampah yang sampai di TPA.

“Menerapkan zero waste dan pendekatan circular economy tidaklah mudah. Saat inipun Eropa masih berupaya untuk melawan insinerator dan mengupayakan zero waste sebagai solusi yang bisa dilakukan”, tuturnya.

Senada dengan empat pembicara sebelumnya, Monica Wilson dari GAIA USA juga memiliki prinsip bahwa Zero Waste adalah solusi nyata dalam menanggulangi sampah. Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang banyak tentu saja menghasilkan sampah yang tidak sedikit. Pada dasarnya incinerator tidak memberikan solusi penyelesaian justru menambah beban masalah. Akhirnya, mereka menerapkan konsep Zero Waste. Hasilnya, pelaksanaan zero waste berhasil dilakukan dan memberikan sumber daya baru di Amerika. Seperti proses kompos  yang justru menghasilkan tanah yang sehat dan dapat menutrisi bahan pangan bagi masyarakat.

Monica berbagi pengalamannya mengenai San Fransisco, kota pertama di Amerika Serikat yang sudah melakukan berbagai usaha dalam menangani sampah. San Fransisco memulai untuk tidak memberikan kantong plastik kepada konsumennya. Diikuti dengan melakukan pelarangan terhadap styrofoam. Kemasan makanan pun harus yang dapat didaur ulang dan botol plastik juga semakin dilarang penggunaannya. Langkah San Fransisco yang sangat progresif itu bisa dijadikan contoh bagi kota-kota di berbagai negara lainnya bahwa zero waste memungkinkan untuk diimplementasi.

IMG-20170727-WA0023
Magdalena dari GAIA USA
IMG-20170727-WA0020
Von Hernandez dari Break Free From Plastic
IMG-20170728-WA0008
Dari kiri ke kanan : Von Hernandez, Magdalena, Joan Marc Simon, Monica Wilson, Arifsyah M., Dila Hadju (moderator)

Sesi Youth Voice

Diskusi selanjutnya diisi oleh para aktivis muda yang bergerak dan peduli dalam isu persampahan. M. Adi Septiono, perwakilan dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bercerita mengenai upaya-upaya yang dilakukan organisasi-organisasi lingkungan di Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan sampah plastik. Salah satu diantaranya adalah anggota AZWI, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik yang mengadvokasi pemerintah untuk menerapkan kebijakan “Kantong Plastik Tidak Gratis” dari petisi di Change.org sejak tahun 2013 hingga berhasil mengurangi penggunaan kantong plastik secara nasional sebesar 55%.

Ahmina Maxey, dari GAIA Amerika menerangkan pentingnya pemuda melakukan sebuah gerakan untuk menolak kehadiran insinerator. Anak-anak muda di Amerika geram dengan masalah sampah dan mengupayakan adanya perubahan dengan membangun koalisi pemuda yang mendorong usaha pengurangan sampah di tiap-tiap kota di Amerika (Zero Waste Youth Movements), seperti Zero Waste Boston dan Zero Waste Detroit.

Bagi Ahmina, zero waste sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ahmina yang memegang Zero Waste Detroit mengungkapkan bahwa Detroit memiliki insinerator terbesar dan tidak mempunyai pusat daur ulang dalam waktu yang cukup lama. Bayangkan betapa besar polusi yang dihasilkan dari insinerator sehingga menyebabkan kematian karena penyakit asma yang diderita oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah gebrakan masif untuk menghentikan kehadiran insinerator dan menggantinya dengan zero waste action.

“Maka dari itu, kami berupaya semaksimal mungkin dengan mendorong aksi pengurangan sampah karena zero waste sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam keseharian dengan tujuan menyelamatkan masa depan, ujar Ahmina.  

Pembicara selanjutnya di sesi suara pemuda ini ialah Anne Aittomaki dari Plastic Change, sebuah organisasi internasional berbasis di Jerman yang berupaya untuk meningkatkan kesadaran kepada masyarakat mengenai polusi dan dampak dari kantong plastik di lautan. Plastic Change mencoba untuk memberikan informasi mengenai permasalahan plastik kepada masyarakat, industri, media dan pemerintahan.

Dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, polusi dari sampah plastik akan benar-benar menghancurkan ekosistem di laut. Jumlahnya akan semakin berlipat ganda dan jika tidak ada tindakan apapun, maka tahun 2050 lautan akan penuh dengan sampah plastik dibandingkan dengan biota laut. Melalui organisasinya, Anne berambisi untuk mengubah kondisi ini menjadi sesuatu yang lebih baik dengan penyebaran fakta-fakta ilmiah, informasi dan dokumentasi dari penelitian yang dilakukan oleh Plastic Change kepada masyarakat.  

Kesempatan berikutnya adalah Delphiné Levi-Alvares dari Zero Waste Europe. Ia menjelaskan tentang peran pemuda dalam mendukung gerakan-gerakan bebas plastik. Saat ini dunia sedang berperang pada masalah yang sama yaitu pencemaran sampah plastik. 150 juta ton sampah plastik sudah mengotori lautan. Ini hanyalah sebagian dari permasalahan yang tampak. Masih banyak hal-hal lain yang tidak terlihat namun justru berkontribusi lebih besar terhadap permasalahan ini.

Delphiné menyebutkan bahwa plastik diproduksi dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar fosil ini tentu saja menghasilkan polutan yang sangat besar. Dari proses produksinya saja sudah tampak bahwa plastik menghabiskan banyak energi. Dan plastik akan berujung menjadi sampah di TPA bahkan mencemari perairan sungai dan laut.

Cara mudah untuk mengajak generasi muda melakukan aksi zero waste adalah dengan memberikan contoh melalui media sosial. Langkah seperti ini bisa viral dengan cepat dan diikuti oleh banyak anak muda lainnya yang terinspirasi untuk dapat melakukan hal yang sama. Inilah yang dilakukan oleh Delphiné untuk menggerakkan anak muda tidak hanya di Eropa tetapi di seluruh dunia.

IMG-20170728-WA0013
Dari kiri ke kanan : Ahmina Waxey, Anne Aittomaki, Delphiné Levi-Alvares, M. Adi Septiono, Dila Hadju

Talkshow ini dapat membuka cakrawala bagaimana seharusnya kita menyelesaikan masalah persampahan dengan pendekatan zero waste. Kita bisa memulai dengan meminimalisir penggunaan kantong plastik dan menjadikan zero waste sebagai sebuah kebiasaan baru. (ADS)

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).